Pengembangan nanoteknologi di Indonesia dilakukan sejak sekitar tahun 2000. Selama 10 tahun terakhir muncul berbagai aplikasinya. Inovasi nanoteknologi telah menumbuhkan bidang usaha baru instrumentasi yang mampu menembus pasar dunia.
Nanoteknologi atau teknologi rekayasa zat berskala nanometer atau sepermiliar meter masa pengembangannya belumlah tergolong lama. Konsepnya pertama kali diperkenalkan pada akhir 1959 oleh Richard Feynman, ahli fisika Amerika Serikat yang kemudian meraih Nobel Fisika pada 1965.
Namun, teknologi nano ternyata sudah diteliti lebih dulu oleh Profesor Norio Taniguchi dari Tokyo Science University. Pada 1940, ia mulai mempelajari mekanisme pembuatan nanomaterial dari kristal kuarts, silikon, dan keramik alumina dengan menggunakan mesin ultrasonik.
Miniaturisasi material hingga orde molekuler itu dilakukan, antara lain, dipicu oleh tuntutan pengecilan ukuran perangkat elektronik dan komputer. Dengan adanya partikel nano itu, rangkaian terpadu atau IC berukuran 1 sentimeter persegi, misalnya, dapat dijejali miliaran transistor sehingga rangkaian tersebut berkapasitas terabyte, bukan lagi gigabyte.
Potensi penerapan nanoteknologi sesungguhnya lebih besar, tidak sebatas untuk membuat nanomaterial bagi peranti mikroelektronik, tetapi juga bagi industri lain. Penerapan material nano bukan hanya pada barang teknik, melainkan juga pada produk makanan, obat-obatan, dan kosmetik.
Penerapan teknologi nano pada berbagai bidang akan mengubah kehidupan masyarakat modern. Dengan membuat partikel berskala nanometer, kemudian menyusupkannya di antara partikel berukuran mikron, akan dihasilkan jenis material baru bersifat super, antara lain tingkat kekerasan, pengantaran listrik, dan sifat magnetnya.
Dengan kelebihan itu akan dihasilkan produk berkualitas, yaitu tidak mudah aus, hemat energi karena tahan panas, dan tidak memerlukan pendinginan. Dengan demikian, akan menghemat biaya operasional dan pemeliharaan serta ramah lingkungan.
Memadukan material nano titan nitril pada komposit keramik akan menghasilkan material baru yang kekerasannya melebihi intan. Apabila material nano digunakan pada cat, akan berefek antigores, antiluntur, dan memantulkan panas. Cat berpartikel nano akan membuat rumah atau kendaraan tetap sejuk meski terpapar sinar matahari.
Inovasi di Indonesia
Dalam menciptakan inovasi di bidang nanoteknologi, peneliti Indonesia tidak kalah dengan peneliti asing. Beberapa karya inovasi teknologi nano di Indonesia dipamerkan dalam R&D Ritech Expo 2010. Pameran yang berakhir Minggu (22/8) itu menampilkan sekitar 28 produk inovasi teknologi nano karya anak bangsa.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), misalnya, menampilkan plastik pengemas dan komponen elektrolit padat pada fuel cell yang dibuat dari komposit nano berbahan polimer. Bahan pengemas ini kedap air dan udara, sedangkan pada elektrolit pengantaran panas dan listriknya jauh lebih baik.
Sementara itu, peneliti di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik Kementerian Perindustrian (B4T Kemperin) berhasil membuat cat dari precipitated calcium carbonate (PCC) berskala nano. Penggunaan cat PCC membuat konstruksi bawah laut tahan gores, tahan kabut garam, dan sangat kedap air.
Sedangkan nanosilika yang dibuat Nurul Taufiqu Rochman dari Pusat Penelitian Fisika Terapan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ketika dicampur semen dapat menghasilkan beton yang berkekuatan dua kali kekuatan beton biasa.
Aplikasi nanomaterial juga dilakukan Andrea Marisi Dame Siahaan dari B4T Kemperin. Ia membuat lapisan penyebar (difuser) cahaya untuk lampu LED dari paduan senyawa nano BCNO (Boron Carbon Nitrogen Oxigen). Dengan pelapis nano ini, tingkat pencahayaan lampu LED berdaya 6 watt bisa menyamai lampu pijar 60 watt.
Nanomagnet juga tengah dirancang untuk sistem pembangkit listrik tenaga mikrohidro berkapasitas 5 kilowatt. Kepala Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM) Kemperin Muhammad Firman memperkirakan, dalam dua tahun, nanomagnet sudah dapat diterapkan pada sistem tersebut. Nanomagnet akan memperkecil setengah diameter turbin, tetapi berkapasitas sama.
Sementara itu, material nano sudah berhasil disusupkan pada produk komersial yang dihasilkan industri nasional, antara lain pada layar kristal TV, sensor, tekstil, kosmetik, obat, dan makanan. Pada kosmetik, ada pelembab berbahan nanosel. Unsur nano ini dapat menutup keriput lebih baik dan mencerahkan wajah.
Mesin penggiling
Untuk menghasilkan semua material dan komponen berskala nano itu, kuncinya adalah pada mesin penggiling material. Mesin pembuat partikel nano, antara lain, dibuat peneliti di BBLM Kemperin dan Pusat Penelitian Fisika Terapan LIPI.
Mesin pembuat material nano karya Nurul Taufiqu Rochman dari LIPI kemudian mendorong berdirinya PT Nanotech Indonesia untuk memproduksi karya inovasi ini. Mesin ini hanya menggunakan daya sekitar 12 persen dari mesin sejenis. Mesin yang disebut high energy milling (HEM) itu dipesan Universitas Kebangsaan Malaysia untuk keperluan riset dan pengembangan lebih lanjut.
”Dengan mesin ini, Indonesia berpeluang menjadi pemasok material nano di pasar global karena memiliki bahan baku tambang yang melimpah,” ujar Nurul yang juga Ketua Umum Masyarakat Nano Indonesia. Inovasi ini juga memberikan keuntungan besar.
Menghaluskan pasir besi menjadi partikel nano, misalnya, dapat meningkatkan nilai tambahnya 4.000 kali. Tingginya kebutuhan mineral pasir besi ukuran nano karena beragam manfaatnya, yaitu sebagai beton berkekuatan tinggi, bahan sensor, membran, dan toner printer.
Kurang diminati
Saat ini inovasi nanoteknologi mulai banyak digunakan industri di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan Masyarakat Nano Indonesia, dari 40 industri yang bergerak di bidang tekstil, keramik, elektronik, dan kimia, ada sekitar 38 persen yang telah memanfaatkan material dan mesin berteknologi nano. Namun, sayangnya sekitar 90 persen merupakan produk impor.
Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata menyayangkan kenyataan itu. Padahal, peneliti Indonesia telah menghasilkan beragam karya inovasi nanoteknologi. Untuk mengatasi hal ini, Kemenristek akan meningkatkan sinergi dan intermediasi dengan pihak terkait agar terjadi difusi nanoteknologi di industri.
Nanoteknologi atau teknologi rekayasa zat berskala nanometer atau sepermiliar meter masa pengembangannya belumlah tergolong lama. Konsepnya pertama kali diperkenalkan pada akhir 1959 oleh Richard Feynman, ahli fisika Amerika Serikat yang kemudian meraih Nobel Fisika pada 1965.
Namun, teknologi nano ternyata sudah diteliti lebih dulu oleh Profesor Norio Taniguchi dari Tokyo Science University. Pada 1940, ia mulai mempelajari mekanisme pembuatan nanomaterial dari kristal kuarts, silikon, dan keramik alumina dengan menggunakan mesin ultrasonik.
Miniaturisasi material hingga orde molekuler itu dilakukan, antara lain, dipicu oleh tuntutan pengecilan ukuran perangkat elektronik dan komputer. Dengan adanya partikel nano itu, rangkaian terpadu atau IC berukuran 1 sentimeter persegi, misalnya, dapat dijejali miliaran transistor sehingga rangkaian tersebut berkapasitas terabyte, bukan lagi gigabyte.
Potensi penerapan nanoteknologi sesungguhnya lebih besar, tidak sebatas untuk membuat nanomaterial bagi peranti mikroelektronik, tetapi juga bagi industri lain. Penerapan material nano bukan hanya pada barang teknik, melainkan juga pada produk makanan, obat-obatan, dan kosmetik.
Penerapan teknologi nano pada berbagai bidang akan mengubah kehidupan masyarakat modern. Dengan membuat partikel berskala nanometer, kemudian menyusupkannya di antara partikel berukuran mikron, akan dihasilkan jenis material baru bersifat super, antara lain tingkat kekerasan, pengantaran listrik, dan sifat magnetnya.
Dengan kelebihan itu akan dihasilkan produk berkualitas, yaitu tidak mudah aus, hemat energi karena tahan panas, dan tidak memerlukan pendinginan. Dengan demikian, akan menghemat biaya operasional dan pemeliharaan serta ramah lingkungan.
Memadukan material nano titan nitril pada komposit keramik akan menghasilkan material baru yang kekerasannya melebihi intan. Apabila material nano digunakan pada cat, akan berefek antigores, antiluntur, dan memantulkan panas. Cat berpartikel nano akan membuat rumah atau kendaraan tetap sejuk meski terpapar sinar matahari.
Inovasi di Indonesia
Dalam menciptakan inovasi di bidang nanoteknologi, peneliti Indonesia tidak kalah dengan peneliti asing. Beberapa karya inovasi teknologi nano di Indonesia dipamerkan dalam R&D Ritech Expo 2010. Pameran yang berakhir Minggu (22/8) itu menampilkan sekitar 28 produk inovasi teknologi nano karya anak bangsa.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), misalnya, menampilkan plastik pengemas dan komponen elektrolit padat pada fuel cell yang dibuat dari komposit nano berbahan polimer. Bahan pengemas ini kedap air dan udara, sedangkan pada elektrolit pengantaran panas dan listriknya jauh lebih baik.
Sementara itu, peneliti di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik Kementerian Perindustrian (B4T Kemperin) berhasil membuat cat dari precipitated calcium carbonate (PCC) berskala nano. Penggunaan cat PCC membuat konstruksi bawah laut tahan gores, tahan kabut garam, dan sangat kedap air.
Sedangkan nanosilika yang dibuat Nurul Taufiqu Rochman dari Pusat Penelitian Fisika Terapan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ketika dicampur semen dapat menghasilkan beton yang berkekuatan dua kali kekuatan beton biasa.
Aplikasi nanomaterial juga dilakukan Andrea Marisi Dame Siahaan dari B4T Kemperin. Ia membuat lapisan penyebar (difuser) cahaya untuk lampu LED dari paduan senyawa nano BCNO (Boron Carbon Nitrogen Oxigen). Dengan pelapis nano ini, tingkat pencahayaan lampu LED berdaya 6 watt bisa menyamai lampu pijar 60 watt.
Nanomagnet juga tengah dirancang untuk sistem pembangkit listrik tenaga mikrohidro berkapasitas 5 kilowatt. Kepala Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM) Kemperin Muhammad Firman memperkirakan, dalam dua tahun, nanomagnet sudah dapat diterapkan pada sistem tersebut. Nanomagnet akan memperkecil setengah diameter turbin, tetapi berkapasitas sama.
Sementara itu, material nano sudah berhasil disusupkan pada produk komersial yang dihasilkan industri nasional, antara lain pada layar kristal TV, sensor, tekstil, kosmetik, obat, dan makanan. Pada kosmetik, ada pelembab berbahan nanosel. Unsur nano ini dapat menutup keriput lebih baik dan mencerahkan wajah.
Mesin penggiling
Untuk menghasilkan semua material dan komponen berskala nano itu, kuncinya adalah pada mesin penggiling material. Mesin pembuat partikel nano, antara lain, dibuat peneliti di BBLM Kemperin dan Pusat Penelitian Fisika Terapan LIPI.
Mesin pembuat material nano karya Nurul Taufiqu Rochman dari LIPI kemudian mendorong berdirinya PT Nanotech Indonesia untuk memproduksi karya inovasi ini. Mesin ini hanya menggunakan daya sekitar 12 persen dari mesin sejenis. Mesin yang disebut high energy milling (HEM) itu dipesan Universitas Kebangsaan Malaysia untuk keperluan riset dan pengembangan lebih lanjut.
”Dengan mesin ini, Indonesia berpeluang menjadi pemasok material nano di pasar global karena memiliki bahan baku tambang yang melimpah,” ujar Nurul yang juga Ketua Umum Masyarakat Nano Indonesia. Inovasi ini juga memberikan keuntungan besar.
Menghaluskan pasir besi menjadi partikel nano, misalnya, dapat meningkatkan nilai tambahnya 4.000 kali. Tingginya kebutuhan mineral pasir besi ukuran nano karena beragam manfaatnya, yaitu sebagai beton berkekuatan tinggi, bahan sensor, membran, dan toner printer.
Kurang diminati
Saat ini inovasi nanoteknologi mulai banyak digunakan industri di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan Masyarakat Nano Indonesia, dari 40 industri yang bergerak di bidang tekstil, keramik, elektronik, dan kimia, ada sekitar 38 persen yang telah memanfaatkan material dan mesin berteknologi nano. Namun, sayangnya sekitar 90 persen merupakan produk impor.
Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata menyayangkan kenyataan itu. Padahal, peneliti Indonesia telah menghasilkan beragam karya inovasi nanoteknologi. Untuk mengatasi hal ini, Kemenristek akan meningkatkan sinergi dan intermediasi dengan pihak terkait agar terjadi difusi nanoteknologi di industri.
Minggu, April 03, 2011 |
Category:
NanoTech
|
0
komentar
Comments (0)